Seberkas
Cahaya Kesetaraan dan Masa Depan Keadilan dalam Perspektif Gender
(Studi Pandangan Dr. Mansour Fakih tentang Transformasi Sosial)
Oleh:
Adita Putri Hapsari
Kader
KOHATI Hukum UGM Cabang Bulaksumur Sleman
“Culture does
not make people. People make culture. If it is true that the full humanity of
women is not our culture, then we can and must make it our culture.”
― Chimamanda Ngozi Adichie
― Chimamanda Ngozi Adichie
Konsep Gender, Seks, dan Implikasinya
Dinding pembatas antara seks dan
gender di mata masyarakat pada umumnya masih menjadi suatu hal yang begitu
abu-abu. Namun, sebelum menilik serta menganalisis keadilan gender lebih dalam,
akan menjadi hal yang sangat penting dan mendasar untuk memahami perbedaan
antara konsep gender. Hal tersebut dikarenakan esensi dari cita-cita penegakan
keadilan gender yang berimplikasi pada keadilan masyarakat secara lebih luas
itu sendiri sangat erat kaitannya dengan bagaimana kita memandang perbedaan
gender sebagai suatu bibit ketidakadilan dalam kondisi tertentu.
Untuk memahami konsep gender, perlu
kita bedakan kata gender dan seks. Seks atau jenis kelamin adalah sebuah
pembagian jenis kelamin yang secara biologis melekat pada tubuh manusia. Semisal,
laki-laki adalah manusia yang memiliki penis dan memproduksi sperma, sementara
perempuan adalah manusia yang memiliki vagina dan memproduksi sel telur.
Artinya, alat-alat tersebut tidak dapat diubah dan ditukar-tukar atau sering
dikatakan sebagai ketentuan Tuhan alias kodrat.
Sementara gender adalah suatu sifat
yang melekat pada kaum laki-laki maupun perubahan akibat dari konstruksi sosial
maupun kultural. Semisal, laki-laki adalah manusia yang kuat, rasional,
pemimpin, dll. Perempuan adalah manusia yang emosional, lembut, dan keibuan.
Ciri-ciri tersebut sejatinya masih dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki
yang lembut dan emosional serta juga ada perempuan yang kuat dan pemimpin.
Namun, di masyarakat luas masih sering terjadi kekeliruan. Justru gender lah
yang biasanya dianggap sebagai hal yang adikodrati, yang tentu diangggap tak
dapat dipertukarkan. Jadi, seks adalah perbedaan jenis kelamin yang sudah
dikodratkan oleh Tuhan. Sementara gender adalah perbedaan perilaku (berhavioral differences) laki-laki dan
perempuan akibat konstruksi sosial.
Perbedaan gender yang disepakati
sejatinya bukanlah suatu hal yang bermasalah ketika ia tidak menimbulkan
ketidakadilan gender. Namun, sayangnya, dewasa ini perbedaan gender seringkali
menjadi pisau yang begitu ampuh untuk meracik bumbu-bumbu baru dunia, yaitu
ketidakadilan gender baik bagi kaum laki-laki terlebih bagi kaum perempuan.
Ketidakadilan gender tersebut meliputi marginalisasi kaum perempuan di ranah
pekerjaan maupun domestik, subordinasi seperti perbedaan syarat ijin kuliah ke
luar negeri berdasar gender, stereotipe yang menimbulkan kekerasan dan
diskriminasi, serta adanya beban kerja berlebih bagi laki-laki terlebih bagi
perempuan.
Nasib Perempuan dalam Pembangunan
Kemiskinan dan keterbelakangan
jutaan rakyat di dunia membuat istilah ide pembangunan (developmentalisme) menjadi
suatu hal yang begitu santer dikumandangkan sebagai sebuah teori, visi, dan
proses yang ampuh untuk memperbaiki keadaan. Jika ditilik sejarahnya,
developmentalisme sejatinya lahir dari semangat untuk memberangus
antikapitalisme yang lahir di masyarakat Dunia Ketiga. Gagasan ini lahir pada
era 40-an terkhusus ketika Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman mengumuman
ide kebijakan pembangunan tersebut. Sejak saat itu, istilah pembangunan dan
keterbelakangan menjadi doktrin kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Selain
menjadi jawaban kapitalis atas teriakan dari rakyat dunia ketiga untuk
menentang kapitalisme, pembangunan yang tak dapat dipisahkan dari modernisasi
juga ditunjukkan sebagai jawaban ideologis atas ketertarikan pihak dunia ketiga
terhadap keberhasilan Uni Soviet sebagai kekuatan baru. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa ide pembangunan atau developmentalism
adalah bentuk Perang Dingin untuk menghambat laju sosialisme negara-negara
dunia ketiga. Maka tak heran jika para penganalisis menempatkan ide pembangunan
sebagai kemasan baru dari kapitalisme. Oleh karena itu, tak heran jika
pembangunan dan modernisme tak menghapuskan sistem kelas dan menghadirkan
kesenjangan yang hakiki sebagaimana kapitalisme sediakala.
Developmentalisme
dan modernisme telah diterima tanpa pertanyaan. Mereka secara tidak sadar telah
disepakati oleh berbagai belahan dunia kemudian diinfiltrasi melalui berbagai
cara dari skala besar hingga kecil. Seperti halnya hegemoni (kontrol) melalui
bantuan ekonomi besar-besaran, kultur mendewakan ide pembangunan hingga terjadi
penggeseran tradisi demokrasi oleh negara terhadap rakyat, hingga dari sisi
ilmu pengetahuan yang telah dipesan bentuk dan metodenya oleh pemilik modal.
Lantas,
pembangunan dan modernisasi yang kini menjadi arus utama teori dan praktik
perubahan sosial itu menciptakan berbagai ketidakadilan dalam struktur ekonomi,
menguatkan dominasi dalam kultur dan ilmu pegetahuan yang tidak netral,
memperkokoh penindasan secara politis, merusak lingkungan hingga pelanggengan
dominasi terhadap kaum perempuan.
Gagasan
Woman in Development (WID) adalah bagian dari ide pembangunan atau developmentalisme
dan modernisasi. WID lebih menghasilkan penjinakan dan pengekangan perempuan
dunia ketiga ketimbang membebaskannya. Dalam bukunya yang berjudul Women’s Role in Economic Development,
Ester Boseroup berpendapat bahwa akibat lain dari modernisasi adalah
penghancuran perempuan. Urbanisasi telah memotong dukungan kesukuan, semakin
berkurangnya pekerjaan dalam sektor modern, dan sering kali pekerjaan sektor
modern tertutup bagi perempuan karena stereotipe terhadap perempuan.
Pemerintahan
kolonial ikut andil pula dalam buruknya nasib status perempuan yang memaksakan
proses pemiskinan terhadap perempuan dengan hanya menyediakan pelatihan bagi
laki-laki dan hanya memberi akses sumber fasilitas kepada kepala keluarga yang
semuanya adalah laki-laki. Sementara di bidang pertanian, tak dapat dinafikkan
jika perempuan memiliki peran yang begitu besar. Baik dalam masa tanam,
pemeliharaan hingga musim panen tiba. Namun, ide pembangunan dengan Revolusi
Hijaunya yang memperkenalkan macam-macam teknologi pertanian serta padi baru itu
secara sistemik telah menggusur perempuan dari perannya semula di dunia
pertanian.
Dapat
disimpulkan jika WID merupakan strategi developmentalisme dan modernisasi untuk
melanggengkan dominasi dan penindasan perempuan dunia ketiga dengan strategi
penjinakan maupun pengekangan. Pada dasarnya, WID menghindari upaya emansipasi
dan diragukan dapat menjadi pemacu proses transformasi. Jika WID bertujuan
memproses persamaan laki-laki dan perempuan, maka transormasi gender merupakan
gerakan pembebasan perempuan dan laki-laki dari sistem dan struktur yang tidak
adil. Dengan begitu, transformasi gender merupakan upaya pembebasan dari segala
bentuk penindasan. Baik struktural maupun personal, kelas, warna kulit, dan
ekonomi nasional. Transformasi gender menolak integrasi perempuan dalam
developmentalisme karena tujuan pengintegrasian perempuan tidak memberikan
pilihan dan suara untuk mempertahankan kehidupan macam apa yang diidam-idamkan kaum
perempuan.
Analisis Gender dan Gerakan Perempuan
Manifestasi ketidakadilan gender
lambat laun menjadi suatu hal yang disepakati tanpa dipertanyakan. Hingga pada
akhirnya laki-laki dan perempuan menjadi terbiasa dan mempercayai bahwa gender
adalah kodrat. Lambat laun pula terciptalah suatu struktur dan sistem
ketidakadilan gender yang diterima tanpa dirasa ada sesuatu yang salah.
Marginalisasi, subordinasi,
stereotipe, hingga beban kerja yang tidak adil membuat kaum feminis bangkit
untuk melawan sistem dan struktur yang mengakibatkan penderitaan terhadap kaum
perempuan. Tak hanya itu, kaum feminis yang selama ini menerima prasangka bahwa
perjuangannya hanya untuk memperjuangkan perempuan dan melawan laki-laki,
ternyata juga memperjuangkan keadilan antar kelas dimana didalamnya terdapat
pula kaum laki-laki (terutama kelas proletar) yang memikul beban berat akibat
dominasi, eksploitasi, hingga sistem yang tidak adil.
Dengan banyaknya prasangka buruk,
feminisme tidak saja mendapatkan tempat untuk tumbuh di kalangan perempuan
sendiri, bahkan secara umum ditolak oleh masyarakat. Untuk itu perlu dibahas
mengenai apa sebenarnya gerakan feminis itu. Berangkat dari perdebatan isu
perempuan, terdapat dua tanggapan. Tanggapan yang pertama memandang bahwa
status quo keadaan perempuan baik-baik saja sehingga tidak perlu
dipermasalahkan. Tanggapan tersebut biasanya lahir dari kaum yang mendapatkan
keuntungan atas posisi perempuan saat ini sehingga ingin mempertahankan
kenyamanannya.
Tanggapan
kedua memandang bahwa memang ada ketidakadilan yang merongrong posisi perempuan
saat ini sehingga harus diubah. Kaum ini terbagi menjadi empat berdasarkan pertanyaan
mengapa kaum perempuan tertindas, yaitu:
1. Golongan
feminis liberal yang berasumsi bahwa kebebasan dan keadilan berasal dari
rasionalitas
2. Golongan
feminis radikalis yang berasumsi bahwa akar penindasan kaum perempuan adalah
penindasan kaum laki-laki
3. Golongan
feminis marxis yang berasumsi bahwa eksploitasi perempuan berasal dari
eksploitasi kelas dalam hubungan produksi akibat sistem kapitalisme
4. Golongan
feminis sosialis bahwa perempuan, sebagai suatu kelas, mengalami penindasan di
berbagai aspek dalam kehidupan
Walaupun
terlahir dengan banyak cabang akibat perbedaan struktur sosial yang
melatarbelakangi lahirnya pemikiran, feminisme pada hakikatnya adalah gerakan
yang berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya
ditindas dan dieksploitasi, sehingga harus ada usaha untuk mengakhiri
penindasan dan eksploitasi tersebut. Meski terjadi perbedaan antarfeminis mengenai
apa, mengapa, dan bagaimana eksploitasi itu terjadi, namun mereka sepaham bahwa
hakikat perjuangan feminis adalah demi kesetaraan, martabat, dan kebebasan
untuk mengontrol raga dan kehidupan baik di dalam maupun di luar rumah.
Meskipun
feminisme merupakan gerakan yang cukup tua, namun pada tahun 60-an dianggap
sebagai lahirnya gerakan itu. Secara kuantitatif gerakan feminisme berdampak
sangat nyata dimana dalam kurun waktu 20 tahun terakhir banyak terjadi
perkembangan dan perubahan yang menyangkut nasib kaum perempuan. Setelah tahun
1975 PBB mengumumkan International Decade of Women terjadi peristiwa penting
bagi perempuan. Salah satunya adalah lahirnya resolusi untuk menghentikan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, atau Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women (CEDAW) yang di Indonesia sendiri telah diratifikasi oleh UU No. 7
Tahun 1984. Tak lama kemudian jumlah anak perempuan yang sekolah meningkat,
bahkan hampir setiap universitas besar kini membuka bidang women Study.
Namun
perubahan secara kuantitatif belum mampu mengubah posisi perempuan secara
kualitatif. Adanya ratifikasi CEDAW oleh UU No. 7 tahun 1984 di Indonesia
khususnya juga tidak mengubah cara pandang masyarakat atas posisi kaum
perempuan. Semakin terbukanya kesempatan kaum perempuan untuk memasuki berbagai
aspek kehidupan dan pekerjaan tidak serta-merta mengubah posisi kaum perempuan
di masyarakat. Dengan kata lain, tidak dengan sendirinya berubahnya
undang-undang, hak ekonomi, serta akses berbagai aspek bagi kaum perempuan
secara fundamental mengubah posisi mereka. Atas dasar itu, arah gerakan feminis
tidak boleh berhenti dengan langkah pertama yakni memperjuangkan hal-hal
praktis jangka pendek.
Gerakan
feminisme perlu melanjutkan perjuangan secara ideologis dan kultural atau
perjuangan jangka panjang dengan mengenalkan apa dan bagaimana watak ideologi
maskulinitas yang keras serta apa dan bagaimana feminitas yang lembut sebagai
suatu prinsip dapat mengobarkan pengaruhnya untuk menghentikan ketidakadilan di
masyarakat secara luas. Tanpa kembali ke feminitas, gerakan feminisme akan
semakin jauh dari perjuangan mewujudkan dunia tanpa eksploitasi, dominasi,
hegemoni dan penindasan.
Stop Ketidakadilan Gender: Tantangan dan Strateginya
Untuk mengatasi amplitudo
ketidakadilan yang begitu jauh mulai dari kepala kita maisng-masing hingga
urusan negara, memerlukan strategi jangka pendek dan jangka panjang yang
bertahap. Untuk jangka pendek, banyak hal-hal praktis yang bisa dilakukan.
Dalam penghentian masalah marginalisasi, perempuan harus mendapatkan akses
untuk terlibat dalam kekuasaan di sektor publik. Dalam penghentian masalah
subordinasi, diperlukan pengaktifan organisasi keperempuanan dan penyelenggaran
pendidikan. Dalam penghentian masalah kekerasan, perlu ditanamkan pada diri
perempuan sendiri bahwa harus tegas menyatakan bahwa pelaku kekerasan harus
berhenti, karena jika tetap diam mereka menganggap perempuan menyukai kekerasan
tersebut. Selain itu, perempuan juga dibekali hal-hal teknis yang dapat
menghentikan kekerasan seperti menulis di media massa hingga mengumpulkan bukti
untuk ditindak secara hukum.
Untuk strategi jangka panjang adalah
memperkokoh hal-hal yang telah disusun sebagai strategi jangka pendek serta
melancarkan kampanye hingga pendidikan kritis kepada masyarakat umum untuk
menghentikan ketidakadilan gender. Adapun langkah yang dapat mendukung yaitu
studi berbagai bentuk ketidakadilan gender lalu diintegrasikan sebagai acuan
guna mengubah kebijakan serta aturan yang dinilai bias atas perempuan.
Di Indonesia, pada periode pertama
yakni tahun 1975-1985 hampir semua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di
Indonesia menganggap permasalah gender adalah sesuatu yang remeh. Periode
kedua, pada tahun 1985-1995 mulai memasuki tahap pengenalan serta pemahaman
dasar tentang apa yang dimaksud analisis gender dan mengapa gender bisa menjadi
sebuah masalah yang krusial untuk sebuah pembangunan. Tantangan yang muncul
pada periode ini adalah antara lain pemikiran serta tafsiran keagamaan yang
patriarkhis serta tantangan gerakan yang merupakan perlawanan (kilas balik)
dari aktivis lelaki maupun perempuan sendiri. Pada dasawarsa yang akan datang,
strategi yang diusulkan meliputi pengintegrasian gender dalam segala kebijakan,
program organisasi, strategi advokasi serta lembaga pendidikan.
Persoalan penindasan perempuan
bukanlah berasal dari penindasan kaum laki-laki secara langsung, melainkan
lahir dari persoalan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat dan
ketidakadilan gender. Gerakan kaum perempuan adalah gerakan transformasi
perempuan, yaitu proses gerakan untuk menciptakan hubungan antar sesama manusia
yang secara fundamental baru, dan lebih adil. Dengan kata lain, proses
transformasi sosial adalah proses demokratisasi yang merupakan alternatif bagi
developmentalisme. Karena developmentalisme adalah sistem yang sesungguhnya
sangat kental dengan ideologi maskulinitas yaitu otoriter, eksploitatif dan
represif secara politik. Sedangkan demokratisasi adalah proses yang
memungkinkan terciptanya ruang, kesempatan yang memungkinkan masyarakat
mengelola dirinya sendiri melalui diskusi dan aksi bersama.
Sesungguhnya,
feminisme bukanlah gerakan untuk menyerang kaum laki-laki, namun merupakan
gerakan perlawanan terhadap sistem yang tidak adil, serta citra partriarkal
bahwa perempuan itu pasif, tergantung, dan inferior.
Dengan demikian, transformasi gender menolak perempuan kedalam pengekangan baik
langsung maupun tidak langsung. Karena dengan pengekangan, kaum perempuan tidak
dapat menetapkan pilihan dan memberikan suara guna mempertahankan kehidupan yang
sesuai dengan harapan dan dambaan masing-masing individunya.
“Daripada mengutuk gelap, lebih baik nyalakan lilin” – Kohati Bulaksumur
Selamat ulang tahun, jayalah KOHATI!
Sudahkah kita matang dalam pemahaman
untuk kemudian bergerak?
Daftar Pustaka
1. Fakih, Dr. Mansour. 2013. Analisis
Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2. Frank, Andre Grunder. 1984.
Sosiologi Pembangunan dan Keterbelakangan sosiologi. Jakarta: Pustaka Pulsar.
3.
Tong, Rosmarie Putnam. 1998. Feminist Though.
Yogyakarta:Jalasutra.
4.
library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=6197,
diakses pada tanggal 23 September 2017 puku; 07.01 WIB
Komentar
Posting Komentar