Menyusuri Jejak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

        Ditulis Oleh:
Tim Kajian dan Aksi KOHATI Cabang Bulaksumur Sleman      

             
        Kekerasan terhadap perempuan dan anak bukanlah sebuah problematika baru bagi dunia, wa bil khusus bagi Indonesia. Bak siklus, ada kalanya isu kekerasan terhadap perempuan dan anak turun meredup lalu kembali mencuat pada titik lainnya. Fenomena tersebut menandakan bahwa kasus tersebut begitu rumit hingga masih belum menemui ujung penyelesaiannya. Pada quarter kedua tahun 2016, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak kembali muncul ke permukaan, salah satu yang marak yaitu kasus pemerkosaan perempuan dan anak. Seperti jejak berita sindonews.com, pada pertengahan Mei hingga awal Juni 2016 sendiri tercatat sebanyak 28 kasus pemerkosaan yang dilakukan terhadap perempuan, baik dewasa maupun anak-anak di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
                Bak fenomena gunung es, kasus-kasus kekerasan terdahap perempuan dan anak tersebut seakan-akan terus bermunculan seiring dengan munculnya kasus-kasus terdahulu. Hal tersebut membuka mata kita bahwa sejatinya masih banyak kasus-kasus serupa yang belum muncul ke permukaan. Dengan kata lain, masih banyak korban kekerasan yang memilih untuk bungkam, tentu dengan berbagai alasannya sendiri.
                Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak selalu menjadi bahan yang menarik untuk didiskusikan demi penyelesaian yang lebih baik. Namun, sejatinya kekerasan tidak hanya dialami oleh anak dan perempuan. Laki-laki pun dapat menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh wanita. Pada dasarnya, segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh siapapun kepada siapapun sebenarnya sama sekali tidak diperkenankan untuk tumbuh. Begitulah keadilan. Namun, kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi sorotan tersendiri karena jumlahnya yang masif, keberadaannya yang untuk beberapa kasus secara implisit dilindungi oleh negara dalam bentuk peraturan seperti tes keperawanan, ketidakjelasan pertanggungjawaban korban perempuan atas terjadinya kerusuhan Mei 1998 lalu, dll. Oleh karena itu kajian demi kajian pun dilakukan untuk mengurangi ketimpangan yang ada dalam masyarakat khususnya dalam bilik kekerasan, yaitu kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Bentuk dan jenis kekerasan terhadap perempuan dan anak
                Kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi dalam bentuk yang variatif. Bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak di lingkungan masyarakat antara lain; perdagangan anak dan perempuan (trafficking), perkosaan, pencabulan, peraturan daerah yang diskriminatif, serta aturan-aturan lain yang dapat merampas kemerdekaan perempuan di lingkungan masyarakat. Selain itu, ada pula bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak di lingkungan rumah tangga. Antara lain yaitu kekerasan fisik, psikis dan seksual, kekerasan dalam hak-hak reproduksi, penelantaran ekonomi keluarga (KDRT), inces, kekerasan terhadap pekerja rumah tangga, kekerasan dalam pacaran, pemaksaan aborsi oleh pasangan, serta kejahatan perkawinan (poligami tanpa izin). Selain bentuk, kekerasan terhadap perempuan dan anak memiliki jenis-jenis tersendiri pula. Jenis-jenis tersebut digolongkan menjadi tindak kekerasan fisik, tindak kekerasan psikis, tindak kekerasan ekonomi, dan tindak kekerasan seksual.

Penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak
                Kasus kekerasan perempuan dan anak yang terlihat tanpa ujung tentunya memiliki sebab-musabab yang cukup dapat dikatakan pelik. Secara garis besar, kekerasan pada perempuan dan anak disebabkan terkait dengan struktur sosial, politik, budaya, hukum, ekonomi, dan agama, yaitu pada sistem budaya patriarki dimana masyarakat menganggap bahwa garis ayah lebih dominan serta memberi kedudukan yang tinggi atau lebih tinggi kepada kaum laki-laki. Pun dalam kultur patriarki yang mana laki-laki dianggap berkuasa penuh atas perempuan. Selain itu, kekerasan terhadap perempuan dan anak disebabkan oleh adanya diskriminasi pada perempuan dalam patriarki maupun sistem lain yang melanggengkan diskriminasi dan penindasan. Seperti halnya tidak diberi hak atas warisan, pelarangan hak untuk bersekolah, dilarang bekerja di luar rumah, dipaksakan kawin muda, dan kelemahan aturan hukum serta penegakannya yang sering merugikan perempuan.
                Terkait dengan budaya, adapun kekerasan tersebut disebabkan adanyaketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki. Hal tersebut termanifestasikan dalam kultur seperti poligami, perceraian secara paksa serta perjodohan paksa. Pada kondisi situasional seperti terisolasi saat konflik semacam ini, perempuan sering menjadi korban perkosaan oleh aparat. Sedangkan kemiskinan mudah menjadikan perempuan sebagai korban trafficking. Pun kemajuan teknologi informasi ternyata justru tidak mengurangi praktik kekerasan ini, sebab perempuan justru semakin mudah menjadi korban dari kasus pelecehan seksual dan pornografi. Selain itu, superioritas atas usia menyebabkan kesewenang-wenangan dalam berperilaku kepada yang lebih muda. Hal tersebut memudahkan terjadinya kasus kekerasan terhadap anak.

Penawaran solusi kekerasan terhadap perempuan dan anak
                Tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan permasalahan interdispliner. Diakui bahwa tindak kekerasan akan banyak terjadi, dimana ada kesenjangan ekonomis antara laki-laki dan perempuan, penyelesaian konflik dengan kekerasan, dominasi laki-laki dan ekonomi keluarga serta pengambilan keputusan yang berbasis pada kepatuhan terhadap laki-laki. Sebaliknya, jika perempuan memiliki kekuasaan diluar rumah, maka intervensi masyarakat secara aktif disamping perlindungan dan kontrol sosial yang kuat memungkinan perempuan dan anak menjadi korban kekerasan semakin  kecil.
Maka solusi terhadap penanggulangan tindak kekerasan terhadap perempuan mesti mencakup hal-hal sebagai berikut :
1.      Meningkatkan kesadaran perempuan akan hak dan kewajibannya di dalam hukum melalui latihan dan penyuluhan (legal training).
2.      Meningkatkan kesadaran masyarakat betapa pentingnya usaha untuk mengatasi terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak, baik di dalam konteks individual, sosial maupun institusional;
3.      Meningkatkan kesadaran penegak hukum agar bertindak cepat dalam mengatasi kekerasan terhadap perempuan maupun anak;
4.      Bantuan dan konseling terhadap korban kekerasan terhadap perempuan dan anak;
5.      Melakukan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilakukan secara sistematis dan didukung oleh jaringan yang mantap.
6.      Pembaharuan hukum teristimewa perlindungan korban tindak kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak-anak serta kelompok yang rentang atas pelanggaran HAM.
7.      Pembaharuan sistem pelayanan kesehatan yang kondusif guna menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan anak;
8.      Bagi anak-anak diperlukan perlindungan baik sosial, ekonomi mauoun hukum bukan saja dari orang tua, tetapi semua pihak, termasuk masyarakat dan negara.
9.      Membentuk lembaga penyantum korban tindak kekerasan dengan target khusus kaum perempuan dan anak untuk diberikan secara cuma-cuma dalam bentuk konsultasi, perawatan medis maupun psikologis
10.  Meminta media  massa (cetak dan elektronik) untuk lebih memperhatikan masalah tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam pemberitaannya, termasuk memberi pendidikan pada publik tentang hak-hak asasi perempuan dan anak-anak.
11. Dalam praktik nyata, korban dapat berteriak atau meminta pertolongan atas kejadian yang menimpanya saat itu juga. Sehingga hal tersebut mencegah terjadinya kekerasan baik pada perempuan maupn anak. Kemudian setelah mendapat pertolongan, korban dapat melapor pada pihak terkait yang berwajib untuk menangani kasus korban tersebut.

Penutup
Kisah tentang korban tindak kekerasan dikalangan perempuan dan anak memang sedikit sekali yang didengar oleh khalayak ramai media massa sebelum khasus YY diviralkan oleh media sosial. Tidak heran jika kasus-kasus seperti ini jarang terungkap pun tidak selesai ketika diadukan ke kepolisian dan diajukan ke peradilan pidana. Masalahnya mungkin pada persepsi masyarakat, baik secara keseluruhan maupun kaum perempuan itu sendiri, bahwa kekerasan yang dialaminya adalah lebih baik untuk disembunyikan. Ini tentu ada kaitannya dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat mengenai kedudukan perempuan. Ada berbagai alasan, namun yang  utama adalah karena stigma dari masyarakat yang memperberat trauma yang dialami oleh dirinya.
Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terus bergulir, tentu sudah seyogyanya mendapat penanganan dan perhatian yang serius baik oleh negara maupun dari tingkatan individu dan lingkungan keluarga. Oleh karenanya, penanganan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak haruslah terintegrasi.  Dimana selain ada pendekatan hukum, juga diperlukan pendekatan non hukum. Hal tersebut mencakup lingkup paling sederhana yaitu kepedulian orang-orang terdekat untuk saling mendengarkan satu sama lain hingga memacu orang-orang terdekatnya untuk terus berbuat baik dan melaksanakan hak serta menjabat erat hak-hak yang seharusnya diperoleh.

Referensi:
1. Subhan, Zaitunah. 2001. Kekerasan dan Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.


Komentar