Kespro Laki-laki: Peran Laki-laki dalam Kesehatan Reproduksi



Laki -laki dalam kehidupan masyarakat dan keluarga mempunyai/diberi peran yang sangat luar biasa. Dalam konstruksi budaya masyarakat indonesia, laki-laki diberi peran lebih dari pada perempuan. Laki-laki dalam keluarga maupun masyarakat diberi peran central sebagai penentu kebijakan, sedangkan perempuan diberi peran pasif sebagai objek. Begitupula dalam masalah kesehatan, perempuan membutuhkan pelayanan di bidang kesehatan baik dari sisi perlindungan, rehabilitas dan pengobatan. Namun, berbagai kebijakan dan pelayanan kesehatan tidak berpihak pada kaum perempuan. Pada kenyataanya perempuan dijadikan sebagai obyek dari kebijakan kesehatan termasuk kebijakan keluarga berencana. Pada kasus pemakaian alat kontrasespsi lebih banyak menyasar perempuan. Pada hal ada juga alat kontrasespsi untuk laki-laki/KB untuk laki-laki.

Masyarakat dewasa ini masih beranggapan bahwa, masalah kesehatan reproduksi adalah masalah kesehatan organ reproduksi perempuan, begitu juga masalah KB. Pada kenyataanya, sebenarnya masalah kesehatan reproduksi tidak terpisah dari hubungan laki-laki dan perempuan. Namun keterlibatan, motivasi serta partisipasi laki-laki dalam kesehatan reproduksi sangat kurang. Hal senada juga dikatakan oleh Ibu Nari, Manajer program Klinik Adhiwarga PKBI Yogyakarta. Bahwa, sebenarnya laki-laki itu masih tidak ingin ikut campu dalam maslah reproduksi, mereka beranggapan bahwa organ-organ reproduksi itu milik perempuan. Karena kalau diberi pilihan untuk KB misalnya, mesti suami melempar ke istri.

Karena di klinik Adi Warga PKBI Yogyakarta mengharuskan suami istri harus hadir ketika periksa, jadi memang peran suami untuk pendampingan sudah ada. Tetapi terkadang peran itu berlebih sampai penentu kebijakan untuk ber-KB pun laki-laki. Jadi ketika ada tawaran untuk ber-KB perempuanlah yang akan jadi sasaran. Pada hal sebernarnya ada juga KB untuk laki-laki yaitu vasektomi, namun ketika sudah dijelaskan lebih rinci tentang vasektomi biasanya kebanyakan dari laki-laki takut dengan resikonya. Dari situ bisa dibeda antara peran pendamping dan peran pengguna. Misalnya, di Klinik Adi Warga PKBI yogyakarta, dalam satu bulan ada 124 pasien pasangan suami istri. Tapi untuk akses layanan KB masih didominasi oleh Istri/ibu, untuk laki-laki sangat jarang bahkan tidak ada. Menurut data Klinik Adi Warga PKBI Yogyakarta Tahun 2011, jika dihitung dalam persenan jumlah laki-laki yang mengakses layanan KB hanya 1%. Hal ini membuktikan bahwa peran laki-laki sebagai pengguna sangatlah kurang. Itu baru data dari layanan KB, belum layanan KTD, IMS, dan HIV&AIDS. Karena jika berbicara masalah kesehatan reproduksi tidak hanya berbicara masalah KB saja, tapi juga kesehatan alat reproduksi secara keseluruhan, baik perempuan ataupun laki-laki.

Pada proses konseling juga ditemukan fakta bahwa, karena tidak ingin hamil seorang ibu diberi obat-obatan oleh suminya tanpa tahu efek sampingnya. Ini membuktikan bahwa, perempuanlah yang menjadi obyek dan mendapat dampak dari kurang pahamnya suami tentang masalah kontrasepsi/kesehatan reproduksi. Umunya seorang suami ketika konseling hanya mengajukan pertanyaan untuk istrinya, seperti “bagaimana nanti kalau istri saya menggunakan KB, terus efek sampingnya apa, kemudian setelah menggunkan IUD suami menanyakan kapan boleh melakukan hubungan seks”. Sangat jarang sekali seorang suami yang menanyakan tentang kesehatan dirinya atau bagaimana kalau laki-laki yang ber-KB. Namun seperti yang diutarakan Ibu Nari, dengan adanya peran dari laki-laki untuk mengantarkan dan mendampingi ini sudah sangat bagus. Karena sudah ada kesadaran dan tanggung jawab dari suami, untuk ikut merasakan seberapa sulitnya ibu menggunakan kontrasespi. Paling tidak ini sebagai langkah awal untuk memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi kepada laki-laki.

Sebenarnya kurang informasi juga merupakan salah satu faktor dari, kurang diaksesnya layanan kesehatan reproduksi seperti KB oleh laki-laki. Ini terbukti dengan adanya komunitas Priyo Sentoso sekitar tahun1995 di daerah Canden Kabupaten Bantul, semuanya orang yang ikut dalam anggota melakukan vasektomi. Di komunitas itu selalu melakukan pertemuan dan diskusi. Pertemuan itu dilakukan rutin, sehingga berkat dari adanya informasi yang diberikan dikomutis tersebut, hampir laki-laki di usia 35 keatas di daerah Canden melakukan vasektomi. Namun sekitar tahun 2000 komunitas ini mulai mandek karena kurangnya motifator. Sebenarnya kalau bicara motivator BKKBN mempunyai PLKB, tapi kenyataannya dilapangan juga tidak berjalan. Nah mungkin bisa digalakan lagi motifator-motifator seperti itu, agar informasi dapat disebar luaskan lewat komunitas-komunitas yang ada. Karna menurut Ibu Nari pemberian informasi oleh motifator di komunitas-komunitas laki-laki yang ada di Desa maupun di Kota itu sangat efektif sekali. Karena tidak akan efektif, ketika kita hanya memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi ini dikomunitas/perkumpulan ibu-ibu seperti PKK, kalau seandainya sasaran informasi yang utamanya adalah laki-laki.
dikopipaste dari http://pkbi-diy.info/?p=4628

Komentar