Opini Kader: Memaknai Peran Pendamping Desa



Oleh
Kunthi Hestiwiningsih
Pengurus Badan Pengelola Latihan HMI Cabang Bulaksumur Sleman 2016-2017

Hadirnya Peraturan Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015 memberikan harapan baru bagi desa untuk lebih siap dalam mengimplementasikan Undang-Undang Desa. Dalam permen mengenai pendampingan desa tersebut disebutkan bahwa pendampingan desa merupakan kegiatan untuk melakukan tindakan pemberdayaan masyarakat melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan, dan fasilitasi Desa. Pendampingan Desa tersebut dapat dilakukan oleh beberapa unsur yaitu tenaga pendamping profesional, Kader Pemberdayaan Masyarakat, dan pihak ketiga (LSM, Perguruan Tinggi, Ormas, Perusahaan). Masing-masing unsur pendamping tersebut telah memiliki tugas pokok dan fungsinya yang berbeda. Dengan banyaknya unsur pendamping desa ini tentu seharusnya desa sudah siap dalam mengimplementasikan Undang-Undang Desa. Tetapi realitas dilapangan adalah desa sendiri belum berdaya dalam menyambut kebijakan baru tersebut. adanya otonomi desa dan kewenangan yang dilimpahkan kepada perangkat desa belumlah dikatakan cukup optimal. Disini yang menjadi koreksi kemudian adalah kinerja dari pendamping desa yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Desa tersebut. Apakah dengan hadirnya pendamping desa dari berbagai unsur tersebut memberikan pengaruh bagi kemandirian desa ataukah malah menimbulkan ketergantungan antara desa kepada pendamping desanya tersebut?


Belajar dari kebijakan PNPM Mandiri yang menempatkan 14.000 fasilitator untuk mendampingi implementasi kebijakan, yang terjadi justru adanya ketergantungan desa terhadap pendamping atau fasilitatornya. Mayoritas pembangunan yang diarahkan kepada pebangunan fisik yang melalui berbagai macam mekanisme birokrasi menjadikan konsep pemberdayaan masyarakat tersebut terbirokratisasi pula. Akibatnya, ketika program nasional tersebut diberhentikan, aktivitas pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh para fasilitator tersebut juga menjadi terhambat, bahkan terhenti. Hal ini tentu kurang sesuai jika dilihat dari konsep pemberdayaan masyarakat. Dimana masyarakat tersebut “diberikan daya”atau “kuasa” dalam menentukan arah kebijakan pembangunan fisik maupun sosial di desanya, bukan sebagai pelaksana kebijakan tingkatan birokrasi diatasnya. Kekeliruan paradigma pemberdayaan ini yang selayaknya diluruskan. Sehingga apabila program pemberdayaan yang dilakukan pemerintah tersebut telah diberhentikan, maka desa benar-benar telah “berdaya” untuk menuju kesejahteraan masyarakatnya.


Menelisik peran pendamping desa yang diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2015 tersebut, maka peran pendamping secara garis besar hanyalah memantik dan membantu desa dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, kegiatan sosial, pembangunan maupun hal-hal lain sesuai yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa. Pendamping desa bukanlah pelaksana, akan tetapi hanya sebatas memfasilitasi perangkat maupun masyarakat desa. Pendamping desa yang disebut pendamping profesional tersebut diseleksi, dilantik, dan difasilitasi langsung oleh Kementrian Desa, PDT, dan Transmigrasi. Dimana akan ada pendamping yang ditempatkan di desa, kecamatan, kabupaten, maupun propinsi. Konsep ini hampir sama dengan konsep fasilitator pada program PNPM Mandiri. Sehingga tidak ada salahnya apabila kita sedikit meredefinisikan ulang pendamping desa tersebut agar tidak terjadi kesalahan yang sama. Dimana dalam kebijakan yang jauh berbeda, pada akhirnya memiliki ruh imlementasi yang sama.


Tidak ada yang salah dengan tujuan ditugaskannya pendamping profesional bagi desa. Justru dengan adanya pendamping profesional tersebut, akan membantu kinerja kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) dan pendamping dari pihak ketiga. Hakikatnya jika kader pemberdayaan masyarakat desa tersebut telah kuat, maka pendamping desa baik dari pendamping profesional dan pihak ketiga tidak memiliki terlalu banyak peran dalam desa tertentu. Hal ini sangat dimungkinkan karena pendamping profesional dan pihak ketiga bisa berasal dari luar desa tersebut, sementara kader pemberdayaan masyarakat desa berasal dari desa yang bersangkutan. Sehingga asumsinya, kader pemberdayaan masyarakat desa tersebut lebih mengerti akan kondisi sosial desanya. Sinergi antara tiga aktor pendamping desa tersebut tentu sangat dibutuhkan, dimana setiap aktor memiliki tugas pokok dan fungsinya masing-masing yang telah tercantum dalam undang-undang dengan satu tujuan yang sama yaitu membuat desa menjadi “berdaya”.



Referensi :
http://www.kemendesa.go.id/hukum/5/peraturan-menteri akses pada tanggal 1 Oktober 2015
http://www.antaranews.com/berita/485589/14000-fasilitator-pnpm-harus-seleksi-ulang akses pada tanggal 1 Oktober 2015

Komentar