Pernyataan Sikap: Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak!



Pernyataan Sikap KOHATI Cabang Bulaksumur Sleman

Indonesia memiliki jumlah populasi penduduk menurut Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan data Susenas 2014 dan 2015, sejumlah 254,9 juta jiwa. Data BPS menunjukkan, dari total tersebut, penduduk laki-laki mencapai 128,1 juta jiwa sementara perempuan sebanyak 126,8 juta jiwa. Dengan populasi penduduk perempuan yang tinggi, Indonesia justru menjadi negara yang tidak aman bagi perempuan. Sejarah Indonesia mencatat banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan sejak masa kolonialisme Belanda dengan kehadiran rumah-rumah bordilnya, masa fasisme Jepang dengan para jugun ianfunya, masa orde baru dengan perkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa, masa konflik Aceh terhadap para perempuan kombatan Gerakan Aceh Merdeka maupun istri dan saudara dari laki-laki kombatan. Hingga kini belum ada jaminan keamanan bagi para perempuan oleh negara. Bahkan negara cenderung mengabaikan dan membiarkan alasan-alasan basi dari budaya patriarki terus mengintimidasi para korban kekerasan seksual.

Menurut WHO terdapat berbagai bentuk kekerasan seksual. Termasuk diantaranya adalah perkosaan (sistematik seperti dalam situasi konflik, ataupun di ranah personal oleh orang asing, maupun dalam pernikahan atau pacaran), pelecehan seksual, penganiayaan seksual terhadap difabel dan anak-anak, pernikahan paksa, penyangkalan hak atas kontrasepsi, aborsi paksa, tindak kekerasan terhadap integritas seksual seseorang (termasuk mutilasi genital dan tes keperawanan paksa), serta prostitusi paksa dan trafficking. Berdasarkan Lembar Fakta Catatan Tahunan Komisi Nasional Perempuan tahun 2016 jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan tahun 2015 sebesar 321.752, bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama (PA-BADILAG) sejumlah 305.535 kasus, dan dari lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 16.217 kasus. Terpisah dari jumlah tersebut, ada sejumlah 1.099 kasus yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan melalui Unit Pengaduan untuk Rujukan (UPR) yang sengaja didirikan Komnas Perempuan untuk menerima dan merujuk pengaduan korban yang datang langsung maupun yang masuk lewat surat dan surat elektronik. Unit ini dikelola oleh divisi pemantauan Komnas Perempuan. Dari keseluruhan data tersebut hanyalah sekelumit data yang dihimpun dari laporan atau data dari instansi, pengadilan atau lembaga terkait. Masih banyak kasus pelecehan seksual yang korbannya memilih diam karena diancam atau kurang terekspos media karena kasus kekerasan seksual tersebut tidak hanya terjadi di kota-kota tertentu namun juga menyeluruh hingga ke daerah. Termasuk karena minimnya pengetahuan korban jika hendak melapor, harus melapor kepada siapa yang dapat dipercaya.

Dengan data kekerasan terhadap perempuan yang terus bertambah setiap tahun dan tidak diiringi dengan pemberitaan berimbang oleh media massa tentang kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terkhusus kasus perkosaan, sebagaimana dalam kasus YY yang baru diberitakan sebulan setelah kematian YY, menunjukkan bahwa perkembangan dari penindakan kasus ini masih jauh dari yang diharapkan; yakni perlindungan terhadap perempuan dan anak secara utuh. Masih minimnya peran negara dalam upaya melindungi warga negaranya, bahkan dalam beberapa kasus perkosaan, masih banyak pandangan meremehkan dari aparat yang semestinya bertindak adil terhadap korban. Pun juga masih minimnya kesadaran bersama bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan serta merta berbicara tentang moralitas atau bagaimana beramai-ramai menyalahkan korban. Bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah tugas yang memang tidak pernah diselesaikan baik oleh negara maupun orang-orang di luar aliansi yang mendukung penghentian kekerasan ini. Kita barangkali lupa untuk melihat perempuan dan anak terus menjadi bagian dari kaum marjinal di negara ini yang harus terus dihidup dalam ancaman dari berbagai sektor baik ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum maupun militerisme. Kemiskinan dan ketimpangan sosial terus menerus menjadikan perempuan dan anak berada dalam garda depan pertahanan hidup yang jauh dari keadilan dan kesejahteraan yang diridhoi oleh Allaah Subhanahu Wa Ta’ala. Bentuk kekerasan ini dapat selalu kita lihat dalam wajah-wajah perempuan Indonesia yang menjadi buruh dan Tenaga Kerja Indonesia, para penganut aliran kepercayaan dan suku-suku bangsa di daerah pedalaman, para ibu rumah tangga yang menjadi orang tua tunggal, para perempuan pesisir pantai, maupun remaja perempuan yang ditampilkan dalam sinetron bergelimang konsumerisme dan gaya hidup moderen salah kaprah. Sehingga penting untuk terus mendorong dan berusaha bersama untuk mewujudkan Indonesia bebas dari darurat kekerasan terhadap perempuan dan anak. 

Maka, kami dari KOHATI Cabang Bulaksumur Sleman menyatakan sikap untuk menolak kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam bentuk apapun, serta bersolidaritas terhadap para penyintas kasus kekerasan perempuan dan anak di Indonesia maupun dunia. Kami akan mendorong dan mengawal DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan pemberian kurikulum tentang seksualitas di institusi pendidikan di Indonesia. Kami siap beraliansi dengan gerakan yang melakukan kerja-kerja baik untuk melawan kekerasan terhadap perempuan dan anak di lingkup Jogja maupun Indonesia. Serta mengedukasi diri sendiri untuk tidak melakukan victim blamming terhadap korban kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam bentuk apapun sebagai tanggung jawab kami memperjuangkan hak kaum perempuan.

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl [16]: 58)
Yogyakarta, 12 Mei 2016
KOHATI Cabang Bulaksumur Sleman

Komentar