Opini Kader : Tegakkan Hukum Terhadap Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak dan Perempuan


oleh: Efi Novitaningrum
Sekertaris KOHATI Cab. Bulaksumur Sleman


Berbicara tentang perlindungan perempuan dari perspektif hukum tentu tidak hanya tentap aturan hukumnya namun juga bagaimana dan sejauh apa instrumen hukum tersebut mapu melindungi perempuan dan anak-anak yang digolongkan sebagai kaum rentan. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan : "Setiap 2 jam, 3 perempuan Indonesia mengalami kekerasan seksual". Sejak 3 tahun terakhir komnas perlindungan perempuan telah mengajukan dan mendorong DPR untuk segera mengesahkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai salah satu RUU usulan DPR, dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2016. Sudah ditetapkan masuk prolegnas 2016. Namun, masih akan dibahas dengan DPD dan Kementerian, serta masih ada pembentukan panitia kerja (panja) RUU.


Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perlindungan Perempuan sebanyak 11.207 kasus di ranah KDRT/RP 60% atau 6.725 kasus berupa kekerasan terhadap istri, 24% atau 2.734 kasus kekerasan dalam pacaran, dan 8% atau 930 kasus kekerasan terhadap anak perempuan. Selain itu di ranah komunitas atau jika pelaku dankorban tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan (bukan untuk kasus PRT), tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal sebanyak terdapat 5.002 kasus. Padatahun2015 sama seperti tahun 2014,kekerasan tertinggi adalah kekerasan seksual (61%). Jenis kekerasan seksual di komunitas tertinggi adalah: perkosaan (1.657 kasus), lalu pencabulan (1.064 kasus), pelecehan seksual (268 kasus), kekerasan seksual lain (130 kasus), melarikan anak perempuan (49 kasus), dan percobaan perkosaan (6 kasus). Dari keseluruhan data tersebut hanyalah sekelumit data yang dihimpun dari laporan atau data dari instansi, pengadilan atau lembaga terkait sedangkan masih banyak kasus pelecehan seksual yang korbannya memilih diam karena diancam atau kurang terekspos media karena kasus kekerasan seksual tersebut tidak hanya terjadi di kota-kota tertentu namun juga menyeluruh hingga ke daerah. Contohnya baru-baru saja kasus yang menimpa Yuyun Pelajar SMP di Bengkulu yang tewas setelah diperkosa 14 orang pemuda.


Namun berbicara soal hukum dalam praktik pelaksanaannya ternyata payung hukum yang ada belum maksimal untuk menghukum para pelaku kekerasan seksual ini. Di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU 23/2003 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak dijerat hukuman maksimal kurungan selama 15 tahun. Apabila pelaku adalah orang yang dekat dengan anak, seperti orangtua, saudara, ataupun kerabat, hukuman ditambah sepertiga waktu hukuman yang asli sehingga total waktu kurungan menjadi 20 tahun. Berdasarkan keterangan Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pribudiarta Nur Sitepu, Permasalahannya, aparat penegak hukum belum pernah merujuk kepada UU 35/2014 yang merupakan payung hukum segala kasus yang berhubungan dengan anak ketika memberi putusan pengadilan.


Sepanjang sejarah kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia vonis hukuman mati dijatuhkan pada kasus sodomi dengan pelaku Ciswanto alias Robot Gedek. Namun, yang memberatkan Robot Gedek adalah kasus pembunuhan dan mutilasi yang dilakukan bukan kekerasan seksualnya. Sehingga pada prakteknya tidak hanya payung hukumnya saja yang dibutuhkan namun bagaimana aturan hukum itu mampu ditegakkan oleh aparat penegak hukum sehingga mampu melindungi anak dan perempuan di Indonesia.

Komentar