Kabar FORHATI: Peluncuran Buku Kiprah Alumni HMI-Wati



Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Jumát – lepas tengah hari nampak meriah. Ruangan itu, sebagian besar dipenuhi kaum perempuan, alumni HMI (Himpunan Mahasiswa Islam)-wati.

Nampak juga Menteri Pendidikan Anies Baswedan, Prof. Dr. Mahfud MD – mantan Ketua Mahkamah Konstitusi – sebagai Ketua Presidium Majelis Nasional KAHMI (Korps Alumni HMI), Penyair Taufik Ismail, Prof. Dr. Aliyah Rasyid Baswedan, Prof. Dr. Siti Zuhro, Dr. Valina Singka Subekti, Dr. dr. Ulla Nuchrawati Usman, Aisyah Amini SH, Prof. AZ Abidin Urra, Atiek Taufik Ismail, Dra. Farida Hanim, dan sejumlah perempuan anggota DPR RI dari berbagai partai.

Siang selepas salat Jumát itu Forum Alumni HMIwati (FORHATI) menggelar perhelatan yang mencerminkan intelektualita mereka. Diskusi Publik tentang Perempuan dan Persoalan Kebangsaan, sekaligus peluncuran buku Kiprah Alumni HMI-wati. Pembicara utama dalam diskusi publik itu: Prof. Aliyah – ibu kandung Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan --, Siti Zuhro, dan Valina.

Sangat menarik pandangan Anies Baswedan, yang gamblang mengemukakan, ada persoalan dalam konteks pendidikan (khasnya di sekolah-sekolah) Islam di Indonesia. Dari aspek akidah dan syariah, luar biasa. Tapi, dari aspek akhlak, perlu mendapat perhatian khas.


PROF. MAHFUD MD - KETUA PRESIDIUM MAJELIS NASIONAL KAHMI

Anies menyebut, perlu digencarkan proses pembiasaan melaksanakan akhlak dalam kehidupan sehari-hari di seluruh jenjang pendidikan, mulai dari masa kanak-kanak. Dan hal itu, harus dimulai dari dalam keluarga. Artinya, ibu memainkan peran yang utama.

Anies menyinggung sedikit bagaimana ibunya, Prof. Aliyah mendidik dia. Agak berkelakar, menteri yang ramah dan berakhlak, itu meminta ibunya bercerita tentang dirinya yang baik-baik.. “Bagian yang lain, tolong jangan ibu ceritakan,”disambut senyum hadirin.

Dalam konteks perempuan di tengah persoalan kebangsaan, peran ibu atau perempuan memainkan peran khas. Taufik Ismail mengulang cerita, bagaimana almarhumah ibunya dan Rasuna Said tampil sebagai penggerak perjuangan kaum perempuan dalam proses kemerdekaan Republik Indonesia.

Keduanya merupakan  aktivis Muslimat Masyumi, yang karena kelantangannya, terpaksa dibuang dari Sumatera Barat ke Semarang. “Di hari pelepasan, ribuan bendi dari Bukittinggi mengantar mereka ke Teluk Bayur di Padang,” ungkap Taufik Ismail.

Karena dimensi keperempuanan semacam itu, maka perjuangan perempuan dalam konteks kebangsaan tak bisa dikotak-kotak. Apalagi disempitkan dengan sekadar konsep afirmasi peran perempuan. Itulah sebabnya, sebagai Ketua MK – Mahfud menolak permintaan tentang pemberlakuan aksi afirmasi dalam Undang Undang. Hasilnya? Populasi perempuan yang memainkan peran politik di DPR dan berbagai lembaga kenegaraan, melebihi dari kuota yang diminta.


MENDIKBUD ANIES BASWEDAN DAN TAUFIK ISMAIL BERSAMA PEMBICARA DAN PENGURUS KAHMI

Peran perempuan dalam mengatasi berbagai persoalan kebangsaan, sudah melekat dengan sendirinya. Terutama karena perempuan menjadi pemandu utama dan pertama anak-anaknya di dalam keluarga. Bila berbagai persoalan yang mengemuka di tengah masyarakat dan bangsa, bisa diatasi di dalam keluarga, persoalan tersebut dengan sendirinya akan berkurang.

Peran Forhati dalam keseluruhan konteks perempuan dalam mengatasi persoalan kebangsaan, adalah menyediakan kader yang tangguh dan langsung berkiprah di masyarakat. Apalagi, Forhati merupakan forum berhimpunnya perempuan muslim Indonesia yang berbasis kecendekiaan, kreatif, pengabdi, dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.

Valina Singka memberi ilustrasi bagaimana dirinya dididik oleh orang-tuanya, terutama ibu, untuk melanjutkan kiprah mereka dalam organisasi pergerakan Islam, yaitu Syarikat Islam. Begitu pula yang lainnya. Akan halnya Prof. Aliyah menitik beratkan pada kualitas insani anggota Forhati yang harus kian ditingkatkan. Meskipun, seperti isyarat dari Siti Zuhro, peran Forhati harus diambil, bukan tunggu diberi. Maklum, karena partai politik kita masih enggan memberi porsi kepada perempuan untuk berperan lebih luas dan strategis.

Kiprah anggota Forhati sendiri kini sudah meluas. Selain di sektor politik – pemerintahan dan kenegaraan, juga di sektor-sektor lain, termasuk sektor ekonomi, sosial, dan budaya. “Di sektor bisnis kita harus lebih diperkuat,”ujar Farida Hanim, yang sebelumnya berkiprah di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).


PESERTA DISKUSI PUBLIK PEREMPUAN DAN PERSOALAN KEBANGSAAN FORHATI

Hal menarik dari Forhati, adalah buku yang diluncurkan. Penyusunan buku itu memakan waktu lama, dua tahun, karena para narasumber yang profilnya dituliskan itu, sebagian besar sangat sibuk dan tak terdata sebagai anggota HMI-wati. “Misalnya Prof. Aliya, yang menyelesaikan studi di Bandung, kemudian pindah ke Yogya, lalu berkonsentrasi mendidik anak dan mengajar. Ternyata beliau aktivis HMI-wati,”ujar Prof. Abidin Urra yang mengedit buku itu.

Selebihnya, Valina dan Siti Zuhro yang relatif jauh lebih muda, sangat mobil dan sibuk. “Jadi kita harus menyesuaikan waktu dengan agenda mereka,”ujar Lies.

Prof. Mahfud menyebut, penerbitan buku itu, merupakan prestasi tersendiri bagi Forhati, karena Majelis Nasional belum juga rampung menerbitkan buku tentang kiprah HMI-wan. Artinya, program yang dimotori Khamsani Chaniago, itu merupakan prestasi tersendiri yang pantas diapresiasi.

Meski belum seluruh alumniwati HMI yang berperan besar dalam proses perjuangan kebangsaan hingga kini terakomodasi dalam buku ini, diharapkan kelak, akan terbit buku berikutnya yang lebih bervariasi dan lengkap. Bravo Forhati. | JM Fadhillah

dikutip dari: http://akarpadinews.com/read/humaniora/peran-perempuan-dimulai-dari-keluarga

Komentar